
MALANG,BANGSAONLINE.com - Desa Jambuwer, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, kembali jadi lokasi 'kelas alam' bagi 70 mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PSP Satrasia) Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama).
Selama tiga hari, mulai Jumat (30/5/2025) siang hingga Minggu (1/6/2025), para mahasiswa terlibat dalam Kuliah Terpadu Satrasia 2025 bertema 'Dari Jambuwer untuk Nusantara: Suara Lokal Gema Nasional.
Kuliah terpadu ini menggabungkan empat disiplin, yakni sastra, budaya, jurnalistik, dan kewirausahaan.
Mahasiswa tak hanya belajar di ruang kelas, tetapi turun langsung ke tengah masyarakat, menggali cerita rakyat, berdiskusi soal budaya lokal, hingga merancang produk kreatif.
“Desa Jambuwer ini luar biasa. Tradisi dan kesenian rakyatnya masih hidup. Dari cerita lisan, ritual budaya, sampai perajin topeng masih bisa ditemukan di sini,” ujar Dr. Wadji, M.Pd., sebagai dosen utama sekaligus penggagas program sejak 1993.
Dijelaskan, awalnya, program ini digelar di Wonosari, Gunung Kawi. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, Jambuwer dipilih karena kekayaan budayanya yang juga masih terjaga.
Mulai dari Wayang Topeng Malangan, jaranan, bantengan, hingga situs makam tokoh lokal Ki Dul Karim yang dipercaya sakral dan dikenal hingga luar negeri.
Menggali cerita rakyat hingga ramu produk kreatif, para mahasiswa dibagi dalam beberapa tim kerja. Tugas mereka bervariasi, mulai dari mendokumentasikan mitos dan legenda lokal, menulis artikel jurnalistik, hingga memproduksi karya kreatif berbasis budaya.
Mereka mewawancarai warga, mencatat cerita-cerita rakyat, lalu menganalisisnya dengan teori sastra yang sudah dipelajari.
Hasilnya dipublikasikan di salah satu media online nasional dan kanal YouTube masing-masing kelompok.
Tidak hanya itu, mahasiswa juga menggelar pameran produk kewirausahaan hasil kolaborasi dua mata kuliah: Dasar-Dasar Kewirausahaan dan Kewirausahaan Berbasis Bahasa dan Sastra.
Beberapa produk yang dipamerkan di antaranya kopi dan teh dalam cup bergambar kutipan puisi, kue sastra, kaos bergambar tokoh dan kutipan sastrawan Indonesia, hingga suvenir seperti gantungan kunci, tas, dan stiker bertema budaya lokal.
“Ini cara memadukan idealisme sastra dengan logika bisnis. Mahasiswa belajar branding, produksi, dan promosi, semuanya berbasis narasi budaya,” kata Dr. Wadji.
Mahasiswa mendaipatkan Ilmu Jurnalistik langsung dari praktisi.
Selain sastra dan wirausaha, bidang jurnalistik juga jadi sorotan. Dua jurnalis profesional, Febri Setiyawan dari Nusadaily.com dan Adi Wiyono dari BANGSAONLINE.com, hadir memberi pelatihan intensif.
Mereka membagikan ilmu soal teknik liputan, penulisan feature news, wawancara, hingga pentingnya membangun jejaring dan menjaga integritas jurnalistik.
“Jangan tunggu lulus. Mulai bangun portofolio jurnalistik dari sekarang,” ujar Adi Wiyono.
Sedangkan Febri menambahkan, Desa Jambuwer memiliki sumber berita yang melimpah. Ia mengarahkan, bagaimana mahasiswa mengolahnya jadi tulisan yang hidup.
Usai pelatihan, mahasiswa ditantang menulis artikel jurnalistik dari potensi lokal. Mulai dari pertanian, peternakan, ritual budaya, hingga kesenian rakyat.
Semua karya mereka wajib diunggah ke salah satu media online dan YouTube sebagai latihan diseminasi gagasan. Kegiatan ini juga diwarnai sesi Refleksi, Diskusi, dan Dialog Budaya.
Padatnya kegiatan berlangsung sejak hari pertama. Ada sesi untuk refleksi dan pemaparan temuan awal. Keesokan harinya, mereka berdiskusi dengan dosen pembimbing untuk mengkaji hasil lapangan dari sudut pandang teori.
Tim dosen yang mendampingi antara lain Dr. Wadji, M.Pd., Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd., Dr. Hadi Wardoyo, M.Pd., dan Ketua Prodi PSP Satrasia, Drs. Suryantoro, M.Pd.
“Ini pendidikan kontekstual. Mahasiswa menyelami kehidupan masyarakat, berdialog langsung, mencatat, mencipta. Ini pengalaman belajar yang utuh,” kata Suryantoro.
Kepala Desa Jambuwer, Mujiono, S.Pd., secara resmi membuka kegiatan di Wisata Edukasi Jowaran. Ia menyambut hangat kehadiran mahasiswa.
“Desa kami terbuka untuk kegiatan akademik. Mahasiswa belajar dari kami, kami juga belajar dari mereka. Ini sinergi yang saling memperkaya,” ujar Mujiono.
Belajar Hidup, Bukan Sekadar Teori
Mochamad Sahrul Gunawan, ketua panitia mahasiswa, menyebut kuliah terpadu ini sebagai pengalaman yang membekas.
“Kami belajar langsung dari lapangan. Menulis kisah rakyat, hidup bersama warga, menjual produk sendiri, berdiskusi soal budaya. Semua ini pengalaman nyata,” katanya.
Mahasiswa juga dilatih untuk menjadi komunikator budaya. Mereka tak hanya mencatat masa lalu, tapi juga merancang masa depan melalui literasi, kreativitas, dan kolaborasi.
Dari desa ini, gema lokal mahasiswa Satrasia Unikama mulai terdengar ke seluruh penjuru nusantar melalui cerita rakyat, video dokumenter, dan produk budaya yang mereka ciptakan sendiri. (asa/van)