
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) menyambut baik meningkatnya investasi di sektor pengolahan dan pemurnian (smelter) alumina, yang merupakan bagian dari program hilirisasi nasional.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat hingga kuartal I tahun 2025 sudah ada empat smelter alumina yang beroperasi komersial, menunjukkan tren positif atas keberhasilan kebijakan hilirisasi dengan beroperasinya sejumlah smelter di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.
Hal ini merupakan hasil dari kebijakan hilirisasi yang secara konsisten dijalankan pemerintah sejak larangan ekspor bijih bauksit diberlakukan pada Juni 2023 yang merupakan bagian dari proses transisi kebijakan yang telah dirancang sejak lama.
Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menjelaskan produksi bijih bauksit nasional sempat mencapai 31,8 juta pada tahun 2022.
Namun, sejak diberlakukannya pelarangan ekspor pada tahun 2023, angka tersebut menurun menjadi 19,8 juta ton dan semakin menurun pada tahun 2024 menjadi 16,8 juta ton. Akan tetapi ESDM tetap optimis angka tersebut akan pulih seiring beroperasinya pengolahan & pemurnian (Smelter) imbas kebijakan hilirisasi yang sudah berjalan selama ini.
Namun di balik perkembangan pesat industri hilir, terdapat tantangan serius yang dihadapi para pelaku usaha di sektor hulu, khususnya penambang bauksit.
Ronald Sulistyanto, Ketua Umum ABI, mengungkapkan banyak penambang terpaksa menghentikan kegiatan operasional karena belum tercapainya kesepakatan harga jual dengan pihak pengolahan & pemurnian (smelter), meskipun pemerintah telah menetapkan harga patokan mineral (HPM) sebagai acuan resmi untuk menciptakan transaksi yang adil dan berimbang di dalam negeri.
Dalam konteks ini, keberlanjutan usaha penambangan menjadi sangat penting, salah satunya melalui harga jual yang layak, yakni dengan adanya margin yang wajar di atas biaya operasional.
"Hal ini dibutuhkan agar kegiatan produksi dapat kembali berjalan secara berkelanjutan dan pasokan bahan baku ke industri hilir tetap terjaga," kata Ronald.
HPM dan Tantangan di Lapangan
Penerapan HPM praktiknya, masih belum dijalankan oleh sebagian pengusaha pengolahan & pemurnian dengan alasan belum mematuhi harga tersebut dikarenakan keterbatasan keekonomian usaha.
Di sisi lain, pengusaha tambang harus menjual di bawah HPM yang menyebabkan mereka menahan produksi atau memilih berhenti beroperasi, karena harga jual yang tidak bisa menutup biaya produksi.
Menurut Ronald, Kondisi ini menciptakan stagnasi di daerah penghasil bauksit seperti Kalimantan Barat, Riau, dan Kalimantan Tengah.
"Aktivitas ekonomi menurun drastis, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara kewajiban para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) kepada negara seperti iuran tetap, reklamasi, PBB, dan pasca tambang hingga CSR atau PPM tetap harus dijalankan," ungkapnya.
"Hal ini menimbulkan tekanan finansial yang besar bagi pelaku usaha kecil dan menengah di sektor tambang," imbuhnya.
Perlunya kesepahaman dan penegakan aturan
Ronald menegaskan, pengolahan & pemurnian (Smelter) tidak akan bisa berjalan tanpa bahan baku yang stabil. Penambang adalah mitra utama dalam mata rantai industri alumina secara nasional.
Namun, jika pengusaha hulu terus merugi, maka pasokan bauksit terancam terputus.
"Ini dapat berdampak pada kekurangan bahan baku nasional dan membuka kemungkinan impor di masa depan – sebuah ironi, mengingat Indonesia memiliki cadangan bauksit yang sangat besar," cetusnya.
ABI menilai bahwa menghidupkan kembali beroperasi tambang tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan waktu, permodalan, dan kepastian harga agar produksi dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, HPM harus dijadikan dasar dalam transaksi penjualan bauksit, dan pemerintah harus hadir sebagai wasit yang tegas dan adil.
"Wacana-wacana baru terkait kebijakan ekspor atau kelonggaran lainnya sebaiknya tidak dijadikan pilihan," ujarnya.
Ronald menyebut, roadmap hilirisasi harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya untuk kepentingan segelintir perusahaan besar, tetapi untuk menjamin keberlangsungan puluhan pelaku usaha nasional yang juga punya hak untuk bertahan dan berkembang.
"Sekali layer terkembang surut kita berpantang," ucapnya.
ABI menekankan bahwa harga jual yang adil adalah kunci keberlanjutan industri ini. Jika pengolahan & pemurnian (smelter) diharapkan tumbuh dan berkembang, maka tambang harus diberi ruang untuk bernafas melalui skema harga yang layak.