jpnn.com - Substansi dan Simbol dalam Agenda Setting
Dalam dinamika pemberitaan politik Indonesia, sosok Hetifah Sjaifudian kerap muncul dengan narasi yang terfragmentasi.
Di satu sisi, ia adalah Ketua Komisi X DPR RI yang secara teknis mengkritisi alokasi anggaran pendidikan, termasuk mempertanyakan proporsi 44,2% untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026.
Di sisi lain, media sering menampilkannya sebagai "tokoh perempuan Golkar" atau menyoroti perannya sebagai Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) dan Pengajian Al-Hidayah. Fenomena ini menjadi kanvas yang tepat untuk menganalisis kerja teori Agenda Setting dan Framing, yang sering kali secara halus justru mengukuhkan bias gender alih-alih mengedepankan substansi kebijakan seorang politisi perempuan.
Melalui lensa Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972), kita melihat pertarungan antara agenda kompetensi dan agenda identitas. Media sesungguhnya memiliki banyak bahan untuk menonjolkan kinerja substantif Hetifah, seperti analisis mendalamnya tentang revisi UU Sisdiknas, problematika realisasi anggaran pendidikan 20%, atau advokasinya untuk nasib guru honorer.
Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Yazid & Siregar (2019), pemberitaan politisi perempuan Indonesia cenderung lebih fokus pada afiliasi politik dan peran simbolik.
Akibatnya, agenda publik lebih sering diarahkan untuk melihat Hetifah melalui identitas partai dan gendernya, sementara gagasan besar kebijakannya, seperti usulan wajib belajar 13 tahun atau perlindungan pendidikan anak buruh migran, justru mendapat porsi yang lebih kecil.
Dampaknya adalah pemiskinan wacana publik, di mana diskusi tentang solusi kebijakan yang konkret tertutupi oleh narasi simbolik.





















































