Tafsir Al-Anbiya' 105-106: Butuh Shalih Moral dan Shalih Manajerial untuk Jadi Pewaris Bumi

3 days ago 13
Tafsir Al-Anbiya Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 105-106. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

105. Wa laqad katabnā fiz-zabūri mim ba‘diż-żikri annal-arḍa yariṡuhā ‘ibādiyaṣ-ṣāliḥūn(a).

Sungguh, Kami telah menuliskan di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam aż-Żikr (Lauh Mahfuz) bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.

106. Inna fī hāżā labalāgal liqaumin ‘ābidīn(a).

Sesungguhnya di dalam (Al-Qur’an) ini benar-benar terdapat pesan (yang jelas) bagi kaum penyembah (Allah).

TAFSIR

inn al-ardl yaritsuha ibadiy al-shalihun”. Sesungguhnya pewaris bumi itu orang-orang shalih. Jadi, jika dia tidak shalih kok mewarisi, menguasai bumi ini, menguasai dunia ini, maka sejatinya dia bukan pewaris, mungkin merebut atau memaksakan diri menjadi pewaris dan berhasil.

Shalih, dari kata kerja “Shaluha, Yashluhu” artinya pantas, patut, wajar, bagus, damai. Maka makna tesis menjadi begini: dunia, bumi ini diwarisi oleh orang yang patut mewarisi. Dia pantes, wajar, dan layak mewarisi, menguasai, memanaj, karena dia mempunyai kebagusan, kelebihan, ilmu untuk mengelola bumi tersebut.

Dia punya kemampuan dan segala piranti yang dibutuhkan dalam penguasaan terhadap dunia tersebut.

Dengan pemaknaan macam ini, maka lintas agama, tidak pandang siapa dia, beriman atau kafir. Karena yang dibutuhkan adalah ilmu, teknik, kerja, terampil, dan manajerialnya, bukan wiridan, tahajjud maupun baca al-Qur’annya. Inilah yang dimaksud shalih terkait memanaj bumi, shalih manajerial.

Meskipun demikian, tidaklah hanya sentuhan tangan terampil, “tangan shalih” saja yang dibutuhkan, melainkan kebagusan moral kala sentuhan tersebut dilakukan.

Shalih moral tetap menjadi utama mendampingi shalih manajerial agar hasilnya optimal dan bermaslahah, tidak dikorup dan tidak merusak tatanan.

Kedua kesalehan ini bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi sehingga bernilai. Tanpa salah satunya, mata uang tak lagi ada nilainya.

Makna shalih pada persoalan ini sama dengan terjemahan “bener” dan “pinter”. Pinter saja dalam mengelola bumi tanpa bener, pastilah rusak jadinya. Sedangkan bener saja tanpa pinter, tidak akan menghasilkan seperti yang diharapkan.

Andai terpaksa harus memilih satu di antara dua tersebut, maka lebih lumayan memilih bener meskipun tidak pinter. Hasilnya lumayan, meski tidak optimal. Ketimbang pinter tapi tidak bener. Maka rusaklah semua tatanan dan menyengsarakan.

Nyatanya, yang menguasai ilmu dan teknologi apapun, maka dia yang merajai dunia ini. Mereka yang memiliki teknologi canggih dalam dunia militer, maka dia menguasai bumi dan teritorialnya.

Jika kecanggihan tersebut ada di tangan orang shalih, maka bermanfaat dan bermaslahah. Tapi jika ada di tangan penjahat, seperti Israel – misalnya, maka menyengsarakan orang lain.

Seperti halnya ilmuwan Republik Rakyat China, to pinter, yo bener. Membangun jembatan kaca di tepi gunung dengan ketinggian ratusan meter di atas permukaan air laut, ada lift-nya dan sampai sekarang aman dan bisa dinikmati.

Ya, karena mereka bener dan pinter. Dari ukuran kaca, konstruksi, dan lain-lain, ditepati sesuai ilmu.

Tidak sama dengan jembatan kaca yang dibangun di negeri ini, di Banyumas. Belum apa-apa sudah pecah dan mencelakakan rakyat. Selain kurang pinter, utamanya karena tidak bener. Mungkin secara ilmu, ukuran dari insinyurnya sudah bener. Tapi dalam praktiknya disunat. Dan banyak yang nyunat kayak bancaan.

Padahal, di China, mereka mayoritas nonmuslim, bukan orang beriman yang ngerti syari’ah, tidak ada majelis ulama’nya, tidak ada pondok pesantrennya, tidak ada kiainya dan seterunya, tapi mereka yang diamanati sungguh shalih moral dan shalih manajerial. Di negeri ini...?

Read Entire Article
Kabar berita |