
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 107. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
107. Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-‘ālamīn(a).
Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.
TAFSIR
Telah diproklamirkan sebelumnya, bahwa bumi ini layak diwarisi oleh orang-orang shalih. Lalu disambung dengan pernyataan, bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidak diutus kecuali hanya sebagai “rahmah” bagi “al-alamin”, makhluk berakal sempurna.
Rahmah adalah salam sejahtera sentuhan kasih sayang yang tak terbatas dari Dzat yang maha kuasa, Allah SWT.
Rahmat itu nondiskriminatif dan lintas apa-apa, baik agama, ras, maupun gender. Tanpa pertimbangan yang kita mengerti, karena rahmat itu mutlak otorita Tuhan. Mau diberikan kepada siapa, itu hak Dia.
Kata “’alam”, bentuk tunggal atau mufrad, artinya “ma siwa Allah”, alam semesta, semua makhluk, baik yang berakal, yang tidak, dan benda mati. “’alam”, bisa dijamakkan dua versi:
Pertama, dengan jamak taksir menjadi ‘awalim. Maka maknanya, tetap alam semesta. Kedua, dijamakkan model “mudzakkar salim”, jadinya: “‘alamun – ‘alamin”, maka maknanya khusus bagi makhluk berakal saja, dari kalangan manusia dan Jin.
Puluhan kata “alamin” di dalam al-qur’an, semua konotasinya makhluk berakal. Kecuali satu dalam surah al-Sua’ra: 23 mengunggah ucapan Fir’aun yang membahasakan “Rabb al-‘alamin” dengan “MA” yang artinya “apa”, kata yang lazim untuk membahasakan benda atau makhluk tak berakal.
“Qal Fir’aun wa ma Rabb al-alamin”. Maklumlah, dia Fir’aun, yang kemudian dijawab oleh nabi Musa A.S. panjang lebar.
Jadi, mohon dengan hormat kaum terpelajar bidang bahasa arab membedakan antara makna ‘alam dengan ‘alamin. Sekali lagi, alam semesta itu bahasa arabnya “’alam. Tapi kalau ‘alamin itu khusus makhluk berakal, ‘uqala, manusia, dan jin. Allah a’lam.
Skor orang paling kaya di dunia justru bukan ada di tangan orang beriman kepada-Nya, malah kafir dan ingkar. Begitu banyak ilmuwan nonmuslim yang reputasinya diakui dunia dan manfaatnya dinikmati orang islam. Meski ilmuwan hebat dan klasik juga banyak dari orang beriman.
Bedanya, kalau ilmuwan itu nonmuslim, maka kemanfaatan ilmunya hanya bisa dipetik di dunia saja. dia pasti mendapat kabajikan dari ilmunya. Tetapi jika ilmuwan itu muslim, maka kebajikan yang diperoleh universal, ya dapet kebajikan di dunia, juga mendapat kebajikan di akhirat nanti, dan justru di akhirat itulah yang terpentig baginya.
Andai Tomas Alfa Edison, sang penemu listrik itu orang beriman, maka betapa banyak pahala yang dia peroleh, terus mengalir dan semakin mengalir. Ya, karena kegunaan listrik di dunia ini begitu tak terhingga. Semua menggunakan, semua membutuhkan.
Jika saja dia beriman, sangat mungkin masuk surga bukan karena shalatnya, melainkan karena ilmu manfaatnya, listrik.