
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 92-94. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
91. Inna hāżihī ummatukum ummataw wāḥidah(tan), wa ana rabbukum fa‘budūn(i).
Sesungguhnya ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku.
93. Wa taqaṭṭa‘ū amrahum bainahum, kullun ilainā rāji‘ūn(a).
Akan tetapi, mereka terpecah-belah dalam urusan (agama) di antara mereka. Masing-masing (golongan itu) akan kembali kepada Kami.
94. Famay ya‘mal minaṣ-ṣāliḥāti wa huwa mu'minun falā kufrāna lisa‘yih(ī), wa innā lahū kātibūn(a).
Siapa yang mengerjakan kebajikan dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan). Sesungguhnya Kamilah yang mencatat untuknya.
TAFSIR
“Wa ana Rabbukum fa’budun”. Aku ini Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. Di sini Tuhan hadir dengan Diri-Nya Sendiri sebagai penandasan, bahwa Diri-Nya memang Tuhan sesungguhnya yang wajib dan berhak disembah oleh semua umat manusia.
Inilah Tuhan yang tegas dan meyakinkan, hadir secara meyakinkan dan tidak semu.
Umat yang satu dengan keyakinan yang satu dengan Tuhan yang Satu. Sebuah konsep teologis yang sederhana dan mudah. Mudah dipahami dan mudah dimengerti, dan sebodoh apapun mesti paham.
Satu adalah bukan dua dan satu juga bukan tiga. Tidak perlu pemikiran filsafat tingg-tinggi dan reka-reka. Tiga dalam satu dan satu dalam tiga yang tetep mbulet dan membingungkan.
Terma ruwet macam begini pastilah menimbulkan banyak pertanyaan sehingga dibutuhkan akal-akalan dan memeras otak. Misalnya, dari tiga itu apa masing-masing sebagai Tuhan? Kalau tidak? Kalau iya? Maka siapa mencipta siapa?
Apa konsep ketuhanan macam ini sudah ada sejak dulu, atau baru timbul setelah era Yesus ?
Ayat “ummah wahidah”, satu kesatuan agama, satu Tuhan yang diekspresikan dalam terma mutakallim wahdah: “Ana”, fa’budu-“Ni”. Diri Sendiri berbentuk Tunggal. Terkait Tuhan Allah SWT yang satu ini, sejarah mencatat pernah terjadi dialog para pengingkar dan jawaban rasionalnya, yakni:
Seorang Ilmuwan kafir bertanya kepada umat islam dengan nada menantang: “Jika Allah itu maha awal, Sang Pencipta, berkuasa dan seterusnya, lalu siapa yang mencipta Allah, Tuhan kalian itu?
Dan kalian juga berkata, di surga itu serba enak dan serba baik, tanpa ada hal yang negatif sedikit pun. Bahkan makan dan minum terus sesukanya dan tak pernah puas. Juga tak pernah buang kotoran. Itu, nalarnya gimana?
Dengan ringan Abu Nuwas sang cendekiawan jenaka menjawab: “Ini berjumlah berapa, dengan memamerkan kelima jemarinya seraya membuka telapak tangan”.
Segera dijawab si kafir: “Lima”.
“Betul,” timpal Abu Nuwas yang nama kecilnya al-Hasan ibn Hani’ al-Hakamy.
Kemudian pertanyaan berikutnya: “Dari mana angka lima ada?”
Si Kafir menjawab: “Dari angka empat”.
Abu Nuwas lalu memberi penjelasan, “Angkat empat dari? Angka tiga. Angka tiga dari? Angka dua. Angka dua dari? Angka satu. So... angka satu lahir dari mana?”
Si kafir itu terdiam.
Tapi tetap menuntut, “lha soal di surga, mereka makan terus, minum terus, tanpa buang air, itu gimana?”
Abu Nuwas memberikan analogi simpel, “Anda pernah bayi kan? Hidup di dalam perut ibumu. Bayi itu manak apa tidak?”
Si kafir menjawab, “Tentu saja, bahkan tumbuh berkembang dan makin besar. Kalau tidak ada asupan, ya mati”.
“Bagus, bagus,” timpal Abu Nuwas.
“Meski bayi makan terus, apa dia juga buang kotoran?” tambah Abu Nuwas.
Si kafir hanya bengong.